Oleh Mahatma Chryshna
Tingkat kelulusan ujian nasional sekolah menengah kejuruan tahun 2010 mengalami penurunan. Kompas.com (29/4) menuliskan bahwa penurunan tersebut disebabkan oleh program “SMK Bisa”. Seberapa besar program “SMK Bisa” memengaruhi turunnya tingkat kelulusan SMK tahun ini?
Dalam ranah praktis, program “SMK Bisa” tidak mengubah kurikulum SMK yang sudah ada. Program tersebut menaikkan citra SMK dan mendorong masyarakat untuk memilih pendidikan SMK yang lebih memberikan kepastian pekerjaan. Diharapkan terjadi peralihan perbandingan SMA dan SMK menjadi 70 persen SMK dan 30 persen SMA di akhir 2015.
Di balik program tersebut, ada keinginan untuk menciptakan pekerjaan dan mengurangi pengangguran. Logikanya, semakin banyak SMK, semakin banyak pula anak Indonesia yang siap bekerja. Sebaliknya, semakin banyak SMA akan memperbanyak pengangguran karena tidak semua lulusan SMA dapat meneruskan ke perguruan tinggi. Apa yang terjadi di lapangan? Beban berat bagi SMK.
Mata pelajaran di SMK yang digunakan untuk ujian nasional (UN) ada empat, yaitu Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, dan Teori Kejuruan. Jumlah itu lebih sedikit dari mata pelajaran yang digunakan untuk ujian bagi SMA jurusan IPA (6), IPS (6), maupun Bahasa (6). Akan tetapi, dalam kenyataannya, siswa SMK tetap mendapatkan pelajaran yang sama, bahkan lebih banyak daripada siswa SMA jurusan IPA, IPS, maupun Bahasa.
Siswa SMK mendapatkan pelajaran, di luar praktik, yang cukup banyak seperti Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Pendidikan Jasmani, Matematika, Fisika, IPA, Kimia, Biologi, Ilmu Pengetahuan Sosial, Seni Budaya, Keterampilan Komputer, dan Kewirausahaan. Semua mata pelajaran itu juga menjadi bahan ujian sekolah. Dengan demikian, siswa SMK menerima kompilasi mata pelajaran yang diterima oleh siswa SMA jurusan IPA, IPS, dan Bahasa.
Selain itu, siswa SMK juga masih dituntut keterampilan berhubungan dengan kejuruan yang dipilih, misalnya Teknik Permesinan, Otomotif, Boga, dan lain-lain. Keterampilan tersebut mensyaratkan adanya ujian kompetensi. Oleh karena itu, selain UN dan ujian sekolah, siswa SMK masih harus menjalani ujian kompetensi yang diselenggarakan oleh Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP).
Susunan kurikulum SMK menampakkan kecenderungan untuk membentuk siswa menjadi manusia serbabisa, superman. Muatan kurikulum SMK itu adalah cerminan dari banyaknya pihak yang turut berkepentingan dalam pendidikan di Indonesia khususnya pendidikan kejuruan.
Bukan lagi terminal
Dari ranah teoretis, program “SMK Bisa” juga memperlihatkan perubahan paradigma SMK. Selama ini, masyarakat umum melihat bahwa SMK adalah terminal atau akhir dari suatu tahapan pendidikan. Lulusan SMK tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan tinggi tetapi langsung bekerja.
Dengan cakupan muatan kurikulum yang cukup luas itu, SMK bukan lagi terminal. Lulusan SMK semakin mudah meneruskan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Pendidikan SMK tidak lagi bersifat terminal tetapi antisipatif. Lulusan SMK dapat langsung bekerja tetapi dapat juga melanjutkan ke perguruan tinggi. Pihak yang diuntungkan dengan paradigma ini adalah siswa dan lembaga perguruan tinggi. Siswa mendapatkan keuntungan karena kemungkinan yang semakin terbuka lebar. Adapun lembaga perguruan tinggi tetap mendapatkan mahasiswa.
Manusia yang sama
Muatan kurikulum yang cukup berat bagi SMK ini disusun berdasarkan profil lulusan yang diharapkan, yaitu mengakomodasi kepentingan perguruan tinggi, dunia industri, dan kepentingan lain. Dengan kata lain, muatan kurikulum ini tidak dimulai dari dasar yang sama bahwa manusia yang dihadapi baik SMA maupun SMK itu sama. Kelemahan menyusun suatu program atau kurikulum hanya berdasarkan profil lulusan yang diharapkan adalah tidak mendarat dan tidak menyentuh sisi visi pendidikan manusia Indonesia.
Dengan “bahan dasar” yang sama, yaitu manusia yang sama, SMK ingin mencetak manusia-manusia super sekaligus mengatasi beberapa masalah seperti pengangguran. Manusia tidak lagi dilihat sebagai pribadi yang memiliki potensi sekaligus keterbatasan, tetapi dilihat sebagai bahan mentah yang siap olah tergantung pabrik pengolahnya.
Semakin lama pengolahan dan semakin banyak unsur yang ditambahkan, semakin optimal juga manusia yang akan dihasilkan. Dengan kata lain, manusia diperlakukan sebagai suatu produk yang diolah sesuai dengan tuntutan berbagai pihak yang membutuhkan seperti dunia industri, perguruan tinggi, maupun permintaan orangtua siswa.
Menata kurikulum
Pendapat bahwa program “SMK Bisa” menjadi sebab turunnya angka kelulusan SMK tahun ini tak seluruhnya benar. Turunnya tingkat kelulusan SMK tahun ini, secara umum, disebabkan oleh beban kurikulum SMK yang berorientasi pada pembentukan manusia super. Beban tersebut dapat berkurang dengan menata kembali kurikulum SMK sesuai dengan keterampilan yang dikhususkan.
Situs Jaringan Pendidikan Nasional, pada Hari Pendidikan Nasional (2/5), menyimpulkan adanya lima perubahan paradigma yang dilakukan Kementerian Pendidikan Nasional. Semoga perubahan paradigma SMK sebagai pencetak superman juga menjadi agenda pemerintah sehingga pendidikan karakter bangsa yang diharapkan juga semakin terwujud.
MAHATMA CHRYSHNA Guru SMK Mikael Surakarta
Sumber : Kompas 20 Mei 2010
0 komentar:
Posting Komentar